Upaya pengendalian banjir di Jakarta sesungguhnya sudah sama tua dengan umur Jakarta itu sendiri. Pada awal abad ke - 17, Jakarta atau yang Batavia saat itu sudah mulai dibangun dengan konsep kota air ( waterfront city ), merupakan kota yang akrab dengan masalah banjir.
Pada waktu didirikan pada tahun 1619, di lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia dirancang dengan kanal - kanal seperti kota Amsterdam atau kota lainnya di Belanda. Secara historis, Semenanjung dan Teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai - sungai Cisadane, Angke, Ciliwung dan Bekasi pada saat musim hujan.
Pertumbuhan pemukiman dan perkotaan yang tidak terkendali disepanjang dan disekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal - kanal dan tak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, mengakibatkan Jakarta dan kawasan disepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir.
Berdasarkan catatan sejarah, Batavia sudah sering kali mengalami banjir besar, antara lain, pada tahun 161, 1654, 1873, dan pada tahun 1918 pada masa pemerintahan kolonial. Kemudian pada periode terakhir, banjir Jakarta terjadi pada tahun 1979, 1996, 2002 dan 2007.
Harian Sin Po pada saat itu mengungkapkan, hujan tanpa henti sejak Januari hingga February 1918, menyebabkan harga sejumlah kebutuhan pokok melonjak. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan February 1918, Kampung Waltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi. Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran juga sudah terendam.
Penyebab banjir Batavia kali ini adalah adalah akibat selokan terlalu sempit sehingga air meluap. Kampung Pejambon terendam banjir sampai satu meter. Penduduk setempat terpaksa mengungsi ke gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari tiga meter. Jalan sekitar ini tertutup karena sudah terbentuk kolam.
Sejak February 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan kota Batavia lumpuh. Dikawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata - rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa.
Begitu juga di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampaung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Pejambon, air juga merendam rumah - rumah penduduk " boemi poetra ". Pasar Baru, Gereja Kathedral, dan daerah - daerah sebelah Barat Molenvliet ( sekarang sekitar Monas ) dijadikan tempat pengungsian. Banjir ini juga mengakibatkan hampir seluruh wilayah Gunung Sahari terendam, kecuali sedikit disekitar Gang Kemayoran.
Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio. Sampai di Kalilio, air terlihat setinggi 50cm. Gedung kantor Marine menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gagng Chambon. Sementara, wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya Kali Grogol.
Beberapa kampung, seperti Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng, Kapuran, berubah menjadi empang. Satu - satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kedi. Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesyuran dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang - gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda. Akhir February 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur - angsur normal kembali.
Pada zaman Kolonial, frekwensi banjir terjadi setiap 20 tahun sekali, kemudian menjadi 10 tahun, 5 tahun, dan kini terjadi hampir setiap tahun. Kondisi ini memang tidak lepas dari topgrafi Jakarta yang 40% wilayahnya berada dibawah permukaan air pasang, perubahan tata guna lahan, munculnya pemukiman baru dihulu sungai dan sepanjang sungai, sampah sembarangan, serta drainase yang semakin parah.
Sumber : Buku Tanggul Raksasa
Selasa, 03 April 2012
Jakarta Kebanjiran Sejak 1918
Label: aktifitas, banjir jakarta, batavia, belanda, global warming, jakarta, kebon jeruk, kolonial, lingkungan, sampah, sunda kelapa
Di Posting Oleh iBENLUTUNG di 02.27
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar